Escape to Europe: Story Behind My Big Decision [My Journey]
- fianirosyadan
- Mar 31, 2018
- 4 min read
Updated: Dec 27, 2019
Buat mahasiswa baru (maba) atau yang sudah pernah merasakan jadi maba, masih kerasa stres ngga sih setelah melewati berbagai macam ujian sebelum masuk kuliah? Kalau jawabannya “iya,” berarti kita sama. Sependeritaan :”).
Sisa-sisa stres setelah USBN, US, UNBK, SBMPTN, dan UM itu masih kerasa banget buat aku. Gimana ngga stres coba, kegiatanku menjelang masuk PT (perguruan tinggi) isinya belajar mati-matian di bimbel sampai tengah malem masih berseragam, nongkrong sambil belajar di cafe sampai tutup, belajar di kafetaria salah satu pusat perbelanjaan di Semarang sampai-sampai harga makan sama harga parkir lebih mahal harga parkirnya, pergi kemana pun selalu bawa buku SBM, ikut try out sana-sini, dan masih banyak lagi. It was suck!
Bersyukur banget sih, ternyata perjuanganku ngga sia-sia. Akhirnya, aku lolos jalur SBMPTN dan diterima di Ilmu Komunikasi Unsoed. Aku percaya bahwa usaha memang ngga pernah menghianati hasil. Pastinya dukungan doa dari orang tua, keluarga, dan orang-orang di sekitar kita juga berpengaruh.
Di awal perkuliahan, aku merasa gabut. Apalagi maba FISIP ehehehe… Tugas paling setengah jam juga selesai. Kegiatan kemahasiswaan juga belum terlalu menyita banyak waktu. Waktu itu kegiatanku cuma diksar CAGBS (Paduan Suara Mahasiswa Unsoed). Pokoknya definisi kurang kerjaan deh. Terkadang aku merasa ngga guna banget jadi mahasiswa “kupu-kupu” (kuliah-pulang) doang.
AIESEC? Global Volunteer?
Suatu ketika, aku lagi belajar kelompok sama temen-temen di depan UPT Perpustakaan Unsoed. Tiba-tiba,ada kakak-kakak yang dateng introducing their self gitu. Ternyata mereka member AIESEC Unsoed. Mereka ngejelasin secara singkat tentang AIESEC dan exchange program. Sebenernya aku udah tau sedikit apa itu AIESEC karena di Undip Semarang juga ada. Temen aku SMP juga pernah cerita. Yang aku ngga tau itu, ternyata di Unsoed ada AIESEC. AIESEC memang belum secara resmi jadi bagian dari UKM di Unsoed, that’s why organisasi ini ngga se-happening di Undip. Kalian bisa cari tahu apa itu AIESEC di google yaa… (kalau mau tanya-tanya lewat kolom komentar juga boleh).
Sejak SMP aku memang berkeinginan menjadi bagian dari AIESEC. At least, ikut kegiatannya. Aku langsung excited dong waktu diinformasikan ada exchange program, namanya Global Volunteer (GV) edisi winter 2017. Ga mikir lama aku langsung “gercep” (gerak cepat) cari tahu bagaimana cara apply project. Waktu itu sekitar bulan Agustus 2017 dan aku masih fresh graduate of high school student.
Yang ada dipikiranku saat itu, aku berniat untuk tidak apply project GV di kawasan Asia Tenggara. Aku ingin mencari suasana baru yang kontras dengan kehidupan di Indonesia. Entah reaksi orang tuaku seperti apa. Yang jelas, aku ingin melakukan sesuatu yang berdampak positif bagi orang lain melalui kegiatan volunteering (ngga cuma jadi maba gabut, peace…), melatih kemandirian dan tanggung jawab, sekaligus jadi bagian dari rencana revenge setelah berbulan-bulan stres akibat ujian. hahaha…
Bagaimana Reaksi Orang Tua?
Aku sih berpikirnya orang tuaku dengan terbuka dan senang hati mengizinkan aku ikut kegiatan volunteering ini. Apalagi tujuannya bukan liburan (padahal ini juga termasuk alasan sih, ehehe), melainkan ada kegiatan positif yang akan aku lakukan dan pastinya menambah pengalaman. Ternyata asumsi dan rencanaku yang setinggi langit itu, TIDAK semulus kulitnya Gal Gadot :’). Orang tuaku, terutama ayah, benar-benar ragu dengan keputusanku itu. Bukan masalah finansialnya, melainkan bagaimana aku bisa survive di negara orang yang jauh dari pengawasan orang tua? Apalagi menurut mereka, aku orangnya agak ceroboh dan berantakan (emang iya sih bener banget).
Awalnya aku membujuk orang tuaku by phone, tetapi ngga mempan. Akhirnya, aku bela-belain dari Purwokerto pulang ke Semarang cuma buat mendapat restu orang tua (udah kaya orang lamaran yak, ehehehe). Aku jelasin macem-macem dan disitulah aku cerita kalau aku pengen apply project yang lokasinya di benua biru, yaps! Eropa! Kayanya keputusanku ini terpengaruh oleh keinginan revenge setelah terjebak masa-masa kelam menjelang masuk PT :’).
Bisa bayangin dong ya betapa kagetnya orang tuaku. Mereka kira aku mau apply yang deket-deket aja gitu dari Indonesia. Ngga taunya aku mau apply ke Eropa. Makin dilema nih orang tuaku. Mulai kepikiran masalah finansial juga (awalnya dikira cuma kawasan Asia Tenggara, jadi masih ngga masalah). Mereka sebagai orang tua khawatir aja sih melepas anak perempuan sendiri di negara orang. Singkat cerita, dengan kekuatan bujukan maut, mereka pun luluh juga. Akhirnya, dengan restu kedua orang tua (ceileehh…), aku kembali ke Purwokerto dan mengurus applying project.
Acceptance
Mulailah masuk ke tahap membuat akun expa (akun AIESEC) dan upload CV. Setelah itu, pilih-pilih projek. Para calon exchange participant diberi lima kesempatan untuk apply GV project. Aku apply Turki 2, Slovakia 1, dan Polandia 2. Empat dari lima projek itu berkaitan dengan Quality Education. Dari lima projek itu, aku mengikuti dua wawancara, yaitu projek Slovakia dan Polandia. Setelah wawancara, kurang dari satu minggu pengumuman pun keluar. Super excited, aku diterima dua-duanya!
Invitation for interview

1. Interview [Slovakia]

2. Interview [Poland]
Interview Result

1. Slovakia

2. Poland
Pilih Projek Apa? Mengapa?
Mulai pusing lagi nih. Dilema ya kan mau pilih yang mana. Orang tuaku menyerahkan semua keputusan ke aku. Makin bingung. Aku juga sempat bikin polling di Instagram, hasilnya cenderung banyak yang mendukung aku ambil projek Polandia. Entah kenapa aku masih ragu. Akhirnya, aku konsultasi dengan VP OGV (vice president outgoing global volunteer) aku. Dia lebih menyarankanku untuk ambil projek di Slovakia karena berdasarkan pengalaman (kebetulan VP OGV-nya juga EP returnee dari Slovakia), AIESEC Slovakia itu taking care of the EPs so well better than Poland. Kalau sudah ada bukti berdasarkan pengalaman sih menurut aku lebih terpercaya, ngga asal spekulasi. Setelah berpikir panjang dan dengan izin orang tua, akhirnya aku memilih projek Educate Slovakia 2018. *clap* *clap*
Posting kali ini aku masih menceritakan gimana awalnya aku bisa kepikiran buat ikut exchange. Menurut aku ini termasuk keputusan sekaligus resiko yang besar untuk aku ambil. Apalagi aku belum pernah ke luar negeri sendiri. Kemampuan Bahasa Inggris ku yang “so so,” juga jadi kekhawatiran tersendiri.
Kalian boleh banget tanya atau sharing apa aja terkait exchange atau volunteering program. Comment box is open for y’all. I will respond it with my pleasure :).
Comments